Sebagai pemantik diskusi, minggu ini kita membahas mengenai transaksi jual-beli tanah di Metaverse yang sempat viral. Banyak yang meragukan namun tidak sedikit yang meyakini hal tersebut bisa terjadi, apalagi melihat fenomena saat ini dimana aset-aset kripto yang tidak tampak namun punya nilai yang tinggi dan diperjualbelikan. Namun ada kekhawatiran fenomena itu hanya akan terjadi sesaat mengingat kasus jual beli tanaman yang harganya sempat melambung tinggi dan tiba-tiba jatuh karena permainan harga sudah selesai. Apalagi ditambah ketika kita mendengar dari banyak pihak bahwa saat ini adalah era post-truth atau pasca kebenaran, dimana sesuatu yang viral belum tentu benar.
Lalu, bagaimana kebenarannya?
Sebelum Facebook mengganti mamanya dengan Meta dan menyampaikan visinya tentang Metaverse, sudah banyak terjadi jual-beli aset di dunia digital terutama di kalangan gamer. Mereka menjual dan membeli asesoris, senjata, atau bahkan karakter yang dimainkan. Tujuannya selain membuat pemain mempunyai tokoh yang dimainkan menjadi keren dan lebih punya kekuatan, juga dapat dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Hal ini tidak jauh berbeda dengan transaksi di dunia nyata, namun dengan aset yang tidak tampak secara fisik.
Selama ada ekosistem yang tercipta, maka aset digital tersebut mempunyai nilai. Ketika sebuah permainan digital gagal membangun ekosistem, maka aset di dalamnya juga tidak akan bernilai. Sebab, ekosistem di dalam permainan digital menciptakan kepercayaan para penggunanya akan nilai aset digital di dalamnya. Kita bisa membandingkannya dengan berbagai contoh aset digital lain yang dihadapi oleh masing-masing pribadi, entah terkait aset permainan digital, aset kripto, toko digital, maupun tanah virtual.
Banyak pengusaha kecil dan menengah yang saat ini sudah berani menyewa toko digital secara bulanan maupun satu tahun karena ekosistem di dalam e-marketplace sudah tercipta. Pengunjung hadir dalam jumlah yang banyak, benar-benar terjadi transaksi secara digital, dan tersedianya mekanisme yang adil bagi setiap pemilik toko, menjadi bagian pendorong para pengusaha memutuskan untuk membayar lapak mereka di e-marketplace meskipun tidak tampak secara fisik. Ketika ekosistem tercipta, maka kebutuhan untuk memiliki menjadi semakin besar.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan metaverse yang sampai saat ini masih dalam tahap menjanjikan masa depan. Ketika ekosistemnya terbentuk, maka bukan hanya kebutuhan lapak untuk berjualan tetapi juga untuk kepentingan lain bisa saja muncul. Butuh waktu untuk melihat ekosistem di dalam metaverse benar-benar terbentuk. Selama ekosistem tersebut belum tercipta, maka yang terjadi hanyalah “goreng-menggoreng” prospek masa depan seperti yang terjadi pada kasus jual beli tanaman yang harganya sempat melambung tinggi dan tiba-tiba jatuh karena permainan harga sudah selesai. Meskipun jual beli aset digital adalah hal yang nyata dan sudah terjadi, kita semua perlu waspada dengan kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Ridwan Sanjaya